Sejuta Payung Warna-Warni di Kampung Melayu (CeBan 2)



Sejuta Payung Warna-Warni di Kampung Melayu
Jakarta, 2012

“Nyoo.. Terminal Kampung Melayu.. Kampung Melayu.. terakhir.. terakhir.. turun disini..”
         Sejenak kupandangi keramaian di terminal ini. Udara semakin dingin, hujan yang membasahi Jakarta sejak sore tadi tak kunjung henti. Jika saja hujan sore tadi tak terlalu deras, pastinya sudah dua jam yang lalu aku berada di mikrolet M-09. Gumpalan awan tak kuat lagi menampung air yang terpendam sejak siang ketika ia muram. Hingga rinai turun dengan derasnya dan tak hanya mengguyur Jakarta, kota-kota sekitar pun dapat jatahnya. Menyebalkan jika harus terjebak di kampus karena hujan. Lebih menjengkelkan pula kalau aku lupa membawa payung. Terpaksa aku menunggu hujan sampai reda. Sejam lamanya aku menunggu, akhirnya aku menerobos dan menghantam rintikan-rintikan halus sang hujan. Kini ia mulai bertoleransi dan memberiku kesempatan untuk pulang. Setidaknya, tak terlalu masalah jika rintikannya menyapu kepala dan keninggku. Apa boleh buat. Aku lupa membawa payung. Lagi pula aku merasa risih kalau aku harus memakai payung lipat. Terbayang jika hujan disertai angin kencang. Pasti payung lipatku akan terbang tertiup angin, atau malah ruas-ruas besi pada payungku akan rusak dan sukar untuk dilipat. Sudah berkali-kali payungku rusak karena tertepa angin. Merepotkan sekali. Adzan maghrib pun sudah berkumandang sejak setengah sejam yang lalu. Jakarta.. oh.. Jakarta. Selalu saja macet. Apalagi kalau kota ini diguyur hujan. Level kemacetan akan semakin tinggi dan kecelekaan sangat rawan terjadi.
“Neng, turun mana? Udeh sampe ini, di terminal Kampung Melayu. Mang eneng ga turun dimari? Saya mau muter balik ini. Mau pulang.”
  “Ehh.. iya bang. Ini uangnya..”
Tak sadar aku dilarutkan oleh lamunan rintikan sang hujan. Aku tersentak kaget ketika penumpang mikrolet yang lain sudah turun dari tadi. Baru saja aku mau turun dari mikrolet, jajaran payung bercorak sudah menyambutku. Lagi-lagi hujan memberi jatah. Ya! Memberi jatah untuk para bocah untuk mencari nafkah. Dengan turunnya hujan, para bocah ini menggunakan kesempatan untuk menjadi ojek payung dadakan. Sekian banyaknya payung-payung bercorak di depan mataku. Hanya satu yang membuatku merasa tertarik. Payung pelangi. Entah kenapa walau dari sekian banyak payung-payung bercorak manis lainnya, aku lebih menyukai payung yang bercorak pelangi. Garis-garis dengan beraneka warna pada payung itu sangat ciamik dan membuatku merindukan pelangi yang sesungguhnya.
   “Ayo ka.. payungnya.. payungnya.. Ka..”
Teriakan bocah-bocah itu membuatku bingung. Tanpa pikir panjang, aku pun meraih payung dari bocah yang membawa payung pelangi itu. Tunggu, ada hal yang baru kusadari. Ojek payung yang menawarkan jasa kepadaku itu tidak seperti para bocah yang kulihat dikerumunan. Dia tak terlihat sebaya seperti mereka. Kisaran umur para bocah yang menawarkan payung tadi sekitar umur 9 hingga 12 tahun. Lampu di sepanjang jalan ini memang sedikit redup. Cahaya yang sedikit berwarna jingga itu tak begitu membantu penglihatanku. Aku baru menyadari kalau ojek payung yang sedang memayungi ku ini adalah seorang pemuda. Wajahnya terlihat seperti orang Tionghoa dengan kulit berwarna kuning langsat, tubuhnya pun tinggi sekitar 175 cm, terlihat terlalu menarik jika jadi ojek payung . Entahlah berapa umurnya, tapi kurasa dia memiliki garis keturunan Jawa. Itu terlihat jelas dari nuansa wajahnya. Yang jelas dia tidak terlihat seperti seorang bocah. Aku baru melihat wujudnya dengan jelas ketika aku berjalan menuju halte busway yang ada disebrang. Pencahayaan lampu yang berbaris sepanjang jalan mulai membuat mata minusku ini melihat lebih baik dari sebelumnya.
     “Baru pulang kuliah ya ka?” Tanya pemuda itu sambil tersenyum. Sekilas saat aku melihat senyumnya, aku langsung menunduk dan kembali fokus berjalan untuk menghindari lubang besar yang penuh dengan lumpur karena genangan hujan yang berpadu dengan tanah.
     “Hah? Iya.. baru pulang. Harusnya sih udah dari tadi pulangnya. Tapi kejebak macet di Cawang.”
      “Macet banget ya? Oh iya ini kaka mau pulang kemana?”
          “Pulang kerumah lah.. hahaha.. oh iya anterin saya sampai kesebrang situ ya.. Ongkosnya berapa nih?”  Bergegas aku membuka tas dan mencari dompetku.
     “Entar aja ka.. kalem!.. kalem!.. kita kan belum sampe kesebrang ka.. oh iya kaka kuliah dimana?”
   “Kuliah di kampus. Hehehe.” Jawabku sekenanya. Jujur saja, aku tidak terlalu suka memberi tahu identitasku kepada orang asing. Sebenarnya bukan hal besar jika aku menjawab beberapa pertanyaannya tadi. Hanya saja aku lebih suka membuat orang penasaran. Hahaha. Betapa menyebalkannya aku.
   “Kuliah jurusan apa ka?”
  “Sastra.. kamu sendiri sekolah kan pasti? Kelas berapa?”
   “Iya ka.. SMK kelas 12.. bentar lagi ujian nih ka, doaian ya ka semoga lulus.”
“Aminn.. doain saya juga ya biar kuliahnya lancar.”
“Iya aminn.. Insha Allah kalo ada biaya saya mau terusin kuliah ka.”
“Oh ya? Kamu mau ambil jurusan apa nanti?”
“Mungkin ahli gizi atau sekolah kuliner gitu.. soalnya aku mau jadi koki ka.”
Sesaat waktu seolah berhenti. Aliran darahku membeku saat dia berkata ‘koki’.. entah kenapa aku suka dengan kata-kata itu. Tepatnya, aku suka dengan orang yang berprofesi sebagai koki. Menurutku tak mudah menjadi seorang koki. Kalau saja aku punya bakat memasak, pasti saat ini aku sudah di sekolahkan di sekolah kuliner. Sayang, aku sama sekali tak memiliki bakat memasak. Makanya sampai saat ini aku mendamba bisa memiliki suami yang berprofesi koki. Sedang apa aku ini. Malah asik terbuai sampai aku tidak sadar saat pemuda itu mengajak ku menyebrangi jalan.
     “Ini.. makasih ya.”
     “Ya ampun ka.. ga usah repot-repot.”
     “Kalem aja.” Bergegas aku menuju bis yang akan membawaku pulang dari Jakarta.



Jakarta, 2012
      Sudah beberapa hari ini ibu sakit. Sakitnya semakin parah dan aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Sudah beberapa kali dibawa ke klinik, tapi obat-obat yang diberi dokter tak lekas membuat ibu sehat kembali. Setahun sudah sejak kepergian ayah, ibu merasa semakin tertekan dan sangat susah sekali untuk makan. Tak banyak yang bisa ku lakukan. Aku hanya berjualan majalah setiap libur sekolah untuk mencari nafkah. Aku ingin segera lulus dan bisa bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari . Aku ingin ibu kembali sehat seperti sedia kala. Koko ku akan mengkuliahkanku selesai aku menamatkan pendidikan SMK, tapi sebenarnya aku ingin segera bekerja. Sore ini, setelah aku menyiapkan makan malam untuk ibu, aku pamit kepada beliau untuk keluar rumah. Hujan yang turun hari ini sangat awet sekali. Aku mengambil payung dan menuju ke terminal Kampung Melayu, hitung-hitung bisa cari beberapa rupiah jika hari ini aku ngojek payung. Sekedar untuk uang jajan atau untuk ditabung pun tak jadi masalah. Kalau sudah hujan seperti ini, pasti anak-anak sekolah mencari kesempatan yang sama sepertiku, jadi ojek payung. Mereka berlari kesana kemari. Bertelanjang kaki dan bercanda gurau bersama. Dan tak jarang memecah genangan rintik hujan. Setiap penumpang yang turun dari angkutan umum pun segera mereka sambar sembari menawarkan jasa. Tiba-tiba mataku tertuju pada seorang gadis, yang dari tadi termenung di dalam angkutan umum itu. Entah kenapa ia tidak segera turun. Dia terlihat bingung, aku melihatnya jelas dari jendela kaca angkutan umum itu.
      “Payung nya ka... payungnya.”
Segera gadis itu meraih payungku tanpa melihatku. Dia tak seperti pegawai kantoran. Cara berpakainnya sederhana, kaos abu-abu dengan tas gendong ala anak kuliahan. Tubuhnya mungil, rambutnya ikal dan dikuncir, dan parasnya amat manis. Dilihat dari fisiknya, sepertinya dia seumuran denganku. Awalnya aku tidak berani mengajaknya berbicara duluan. Karena dia terlihat kurang ramah dan tak begitu peduli dengan keberadaanku. Tapi aku beranikan diri untuk bertanya, walau tak jarang pertanyaanku tak benar-benar ia jawab. Gadis itu tak ingin memegang payung ini sendiri, dia memintaku untuk memayunginya. Mungkin dia tak ingin aku hujan-hujanan, atau mungkin dia malah seorang gadis ala ‘ratu’ yang serba ingin dilayani. Prasangka demi prasangka pun muncul. Pikiranku diliputi banyak dugaan. Aku sangat penasaran padanya. Tapi aku tak berani banyak bicara karena sepertinya dia kurang nyaman denganku.
      “Bu.. saya beli bakwannya dong bu.. sama ubinya juga deh”
Setelah menyebranginya ke halte, gadis itu menghampiri tukang gorengan dan membeli beberapa bakwan dan ubi. Sepertinya gadis ini lapar, banyak sekali gorengan yang ia beli. Apa mungkin dia memang doyan makan? Pikirku. Aku menunggu dia membayar gorengan yang ia beli sembari mengelap kaca jendela yang berada di sisi kiri halte itu. Kacanya berembun dan terasa dingin sekali. Itu termasuk satu hal yang ku suka saat hujan tiba, menyentuh dinginnya embun yang datang karena hujan sepanjang hari. Perutku pun terasa lapar. Ingin aku segera membeli sesuatu untuk mengganjal perut ini setelah gadis itu memberiku beberapa rupiah nanti.
        “Ini.. makasih ya.” Gadis itu memberiku beberapa rupiah dan menyodorkan sebungkus gorengan yang ia beli tadi untukku. Betapa baiknya ia. Ternyata ia tak sekaku yang ku kira. Ingin aku tahu namanya, dimana rumahnya, atau setidaknya tahu dimana ia berkuliah. Tapi sayang.. ia terlihat tergesa-gesa dan segera menaiki bis yang akan membawanya pulang. Aku masih memandanginya dari belakang hingga akhirnya ia lenyap dari pandangan. 

                                                               Terimakasih telah membaca CeBan (Cerita Bantet)-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalamnya Makna Lagu ‘Let Me Breathe’ – Harris J

Resensi Buku : Imam Syafi'i (Pejuang Kebenaran)

Musafir dan Si fakir ilmu