Seiris Rendang untuk Gelandang (CeBan 3)



Karena tak kau lihat
Terkadang malaikat
Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan

Siang itu. Gemuruh melanda perut gadis kecil yang sedang bersenandung lirih. Berkali-kali ia menyanyikan lagu yang dipopulerkan  Dewi Lestari itu sembari berjalan pelan. Pukul satu siang. Teriknya mentari membuat wajah gadis itu nampak pucat dan mengucurkan keringat di sekujur tubuhnya. Lapar dan panas. Hanya itu yang ia rasakan. Harapannya pada siang ini adalah segera pulang, mensatap hidangan lezat yang biasa disajikan sang bunda selagi hangat dan menggugah selera. Sesekali cacing-cacing perut ikut serta bernyanyi dan bersenandung bersamanya.

Sesampainya di rumah
“Assalamualikum.. Bun, aku lapar.”
“Waalaikumsalam nak.. eh, gadis bunda udah pulang.. sana gih buka tudung saji yang ada di dapur.”
Segera gadis itu bersemangat membuka tudung saji yang berada di meja makan. Seragam putih-biru yang penuh dengan keringat itu pun masih ia kenakan. Rasa laparnya sepertinya tak bisa dikompromikan lagi.
“Pindang? Ikan pindang? Bunda kan tahu kalau aku ga suka pindang. Baunya amis. Aku mual kalau makan pindang.” Keluh gadis itu dengan wajah yang sengit.
“Iya.. kebetulan di tukang sayur cuma ada pindang doang nak.. sudah makan saja, dari pada maag kamu kambuh?”
“Enggak.. aku ga mau pindang, mending aku mati kelaparan dari pada makan pindang, biar aja maag aku kambuh.. issshh” Gadis itu rupanya keras kepala dan tak lagi menghiraukan rasa laparnya.
“Ehh.. kamu ga boleh ngomong kaya gitu. Kalau perkataan kamu dicatat sama malaikat gimana? Bersyukur aja nak, toh kamu masih bisa makan. Coba liat diluar sana! Banyak yang kelaparan, makan pun seadanya. Kita masih beruntung.. jauh lebih beruntung dari mereka.”

“Ah.. udahlah. Aku udah kehilangan selera makan. Tahu gitu aku beli makanan diluar aja. Gak usah pulang kalau tahu lauknya cuma pindang.”
Gadis itu segera berlari keluar rumah dan tak menghiraukan apa yang dikatakan bundanya. Ia bergegas mengambil beberapa rupiah dari tabungan yang disimpannya di lemari pakaian. Segera ia menuju rumah makan padang yang tak jauh dari rumahnya. Rendang. Kali ini menjadi harapannya. Seleranya hanya untuk rendang, bukan untuk pindang yang membuatnya mual.

                                                                      *******
“Kek.. Kakek. Aku nemu ikan. Ini bisa buat makan kita kek.” Wajah bocah laki-laki itu sangat sumringah. Karung penuh botol plastik yang ia bawa itu seketika ia letakkan di pinggir jalan.
“Wah iya cu.. nanti ikannya kita cuci, terus kita goreng buat makan nanti. Kakek baru inget masih ada sisa beras dari pembagian sembako yang kemarin.”
“Asikk.. hari ini kita makan enak.”
Tak percaya apa yang ia lihat di depannya. Dua gelandangan itu sumringah dan bahagia ketika menemukan sebuah ikan kering yang tak bertuan. Mungkin saja ikan itu dibuang ke tempat sampah karena sudah tidak ada yang berselera lagi untuk menyantapnya. Tapi mengapa? Mengapa wajah gelandang itu sangat bahagia ketika menemukan sebuah ikan kering yang telah terpadu dengan sampah-sampah lembap. Mengapa wajah mereka sebahagia orang yang baru saja menemukan harta karun? Pikir gadis itu. Tubuhnya melemas dan seketika bungkusan yang ia bawa terjatuh ke tanah. Rendang yang baru saja ia beli kini seolah menjerit. Kali ini gadis itu tak berselera lagi untuk kesekian kalinya. Tanpa pikir panjang, sebungkus rendang yang baru saja ia beli langsung ia serahkan kepada kakek gelandang serta cucunya itu. Sekali lagi. Dua gelandang itu menemukan harta karun untuk santapan mereka. Dengan cepat gadis itu berlari dan meninggalkan dua gelandang yang masih bingung akan sikapnya yang spontan.
“Bun.. Bun.. aku mau makan pindang aja.” Tetiba gadis itu langsung memeluk sang bunda dan meminta maaf atas perbuatannya.
“Kamu kenapa? Kamu yakin nanti gak akan mual? Katanya kamu mau beli makan diluar?” Sang Bunda masih terlihat bingung akan sikap gadis kecilnya itu.
“Gak Bun.. aku mau makan seadanya aja. Masakan Bunda pasti gak akan buat aku mual. Semua masakan Bunda pasti enak.” Gadis itu tetap memeluk Bundanya dengan erat sembari menangis tersedu.

                                                              *******

“Sepertinya gadis manja itu sudah belajar arti bersyukur hari ini.”
“Ya.. ayo kita segera kembali pada-Nya, sebentar lagi Ashar. Waktunya siklus pergantian.”
“Kau sudah catat kebaikannya tadi?”
“Ya tentu, kita harus bergegas pergi. Besok kita bertugas lagi.”

       Adzan Ashar pun datang dan berkumandang dengan syahdunya.

Terimakasih sudah membaca CeBan (Cerita Bantet)-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalamnya Makna Lagu ‘Let Me Breathe’ – Harris J

Resensi Buku : Imam Syafi'i (Pejuang Kebenaran)

Musafir dan Si fakir ilmu