Pantai terakhir Sura Part 2 (CeBan 4)
Selamat
datang para pembaca blog yang sudi membaca CeBan dari penulis amatiran yang
satu ini. Entah kenapa saya harus berterimakasih pada teman saya, Amalia Ajeng,
yang telah memberikan ide cemerlang. CeBan kali ini tetiba begitu saja saya
tulis dengan pikiran yang mengalir, padahal awalnya saya sama sekali tidak
kepikiran membuat CeBan “Pantai Terakhir Sura Part 2”
Ide
kali ini bermula ketika siang tadi saya makan ketoprak bersama Ajeng dan Ica,
teman satu pengajian saya di YISC Al Azhar. Saat saya mensatap ketoprak dengan hikmatnya, tiba-tiba teman saya bertanya tentang CeBan Pantai Terakhir Sura
yang saya buat tahun 2013 lalu.
“Mbak
kenapa ga buat terusan CeBan Pantai Terakhir Sura?”
“Hah?
Hmm.. namanya juga Cerita Bantet, mungkin enaknya ceritanya dibikin gantung di
endingnya.”
Seketika suasana makan siang
menjadi hening. Hening, karena sebenarnya saya sedang berpikir keras untuk bikin
certita kelanjutan CeBan ‘PTS’ ini. Anyway, makasih banyak buat Ajeng. Karena
berkat masukannya, spontan cerita ini bisa tercipta. :D
Pantai Terakhir Sura Part 2
Selangkah lagi. Hanya
tinggal selangkah lagi kaki itu akan memijakkan telapaknya ke bibir jurang.
Rupanya sore ini adalah waktu yang tepat untuk mengakhiri segalanya.
Camar-camar itu pun menyanyikan senandung pedih. Mungkin saja ini akan jadi
nyanyian terakhir sang camar yang didengar oleh Sura. Sura hanya menatap
bongkahan karang raksasa itu dengan tatapan pedih. Ayolah karang! Kau saja yang
menghantam aku. Kata-kata itu sejenak terniang di telinga Sura.
*******
“Kapan terakhir kau
melihat Sura?”
Karto menatap dengan
tatapan tajam. Wajahnya berubah jadi pucat. Dia nampak terperengah dan tak karuan.
Dia bertanya dengan suara menghentak.
“Aku tak pernah
melihatnya lagi semenjak kejadian itu.” Jawab pria berkacamata itu dengan wajah
tak kalah pucat.
“Jangan bohong! Kau
pasti menyembunyikan sesuatu dari ku kan? Jawab Fik.. jawab!”
“Sungguh To, aku tak
menyembunyikan apapun darimu. Selama ini kau salah menilaiku dan Sura. Kau
hanya salah paham!”
Seketika suasana pada
kamar kos itu seolah mengeluarkan asap panas. Panas bagai api karena kedua
sahabat ini berdebat sengit. Karto dan Fikri adalah dua pria lajang berusia dua
puluhan. Mereka bersahabat sejak lama. Ini kali pertamanya mereka bertengkar
hebat. Satu masalah besar mereka, yaitu, sama-sama kehilangan sosok Sura.
Hampir dua minggu mereka kehilangan sosok sahabat yang sangat mereka sayangi
itu. Bagi Karto Sura adalah obsesinya. Namun bagi Fikri, Sura hanyalah gadis
biasa yang penuh dengan nestapa. Fikri terkadang merasa lelah menjadi wadah.
Ya! Wadah curahan hati seorang Sura yang sebatang kara. Belum genap tigapuluh
hari Sura menjadi seorang yatim-piatu. Kecelakaan kapal itu membuat Sura
kehilangan keluarga yang dicintainya. Ayah, Ibu, dan Mba Nining telah lenyap
ditelan perut laut. Entah kenapa hanya Sura yang selamat dari kecelakaan maut
itu. Berbeda dengan Karto, ia tak pernah lelah menjadi seorang yang selalu
menyemangati Sura, menjaganya, bahkan menjadi orang bodoh di depan Sura
sekalipun ia rela. Namun belakangan Sura tak ingin terlalu bergantung dengan
Karto. Terlebih lagi ketika ia tahu kalau Karto sebentar lagi akan melanjutkan
studi S2 nya ke Berlin. Sura hanya ingin terbiasa jika suatu saat ia harus
kehilangan Karto, sosok pria yang ia anggap laiknya kakak sendiri. Karena
itulah Sura kini lebih sering mencurahkan isi hatinya kepada Fikri.
“Permisi.. permisi..
pos.. surat.. surat!”
Suasana sengit antara
Karto dan Fikri pun seketika pecah. Teriakan tukang pos di pagar itu membuat
Karto bergegas keluar kamar.
“Ini surat untuk
Karto.. sama ini, ada paket kiriman juga.. tanda tangani disini ya mas.”
Kiriman paket misterius
itu membuat Karto segera membuka bingkisan beserta surat yang berada dalam
sebuah amplop berwarna abu-abu. Tak ada nama pengirim maupun alamat yang
tertera di bingkisan itu. Ternyata di bingkisan itu terdapat beberapa rumah
kerang. Entah kenapa rumah kerang itu dipenuhi dengan pasir pantai.
“Fik.. coba kau baca
ini! Cepatt!”
Betapa kagetnya dua
sahabat ini ketika membaca sepucuk surat yang berisi:
Surakarta,
7 September 2014
Halo
Karto,
Apa
kabar? Basi sekali ya pertanyaanku. Hehehe. Aku harap kau baik-baik saja.
Maafkan aku yang tak memberimu kabar selama dua minggu ini. Aku hanya tak ingin
membebanimu lagi, To.. Selamat menempuh studi S2 ya. Aku harap kau bisa menjaga
diri selama tinggal di Berlin. Disini aku tetap sehat dan baik-baik saja.
Sekarang aku di pantai, kau bisa menjenguk ku kemari jika kau sempat, namun..
mungkin kita tak bisa banyak berbincang banyak seperti dulu. Tapi tak usah
khawatir ya, karena kau tetap bisa mendengar suaraku dan tetap bisa melihatku
walau kita tak pernah bisa bertatap lagi.
Salam
damai, dari Ombak~
“Jadi, menurutmu Sura
dimana, To?”
“Di pantai.. Ya! aku
yakin sekarang dia di pantai!”
“Kau tahu, To.. di
Surakarta tak ada pantai?”
“Sura memang sudah tak
di Surakarta lagi, Fik.”
“Lalu dia dimana? Kalau
begitu kita jemput dia sekarang. Mungkin saja dia di pantai Parang Tritis, itu
terletak di Jogya!”
“Tidak.. Sura tak akan
ada di pantai Parang Tritis, dia pasti sudah di pantai terakhir."
"Pantai terakhir?"
"Ya! Pantai terakhir Sura." Jawab Karto dengan lirih.
"Pantai terakhir?"
"Ya! Pantai terakhir Sura." Jawab Karto dengan lirih.
End~
Komentar
Posting Komentar