Lost in Gambir (CeBan 5)



    Inilah stasiun Balapan. Stasiun yang terletak di Surakarta. Hiruk pikuk, laju kereta, serta suara riuh berpadu menjadi satu. Pagi itu, ketika aku masih setengah sadar. Aku menghirup oksigen yang tak biasa, lebih tepatnya mungkin oksigen yang bernuansa. Hehehe. Udara disini memang dipenuhi aneka jajanan, mulai dari kue semprong, rengginan udang, sampai secangkir kopi dan secup mie seduh pun pasti terpapar dengan ciamik disini. Harum? Hmmm, coba hirup lagi. Seperti ada aroma yang tercium sangat wangi. Namun bukan sekedar wangi biasa. Wangi yang satu ini sangat khas dan menyegarkan pernapasan, seperti wangi yang tercampur dengan nuansa manis. Ya, manis sekali. Perlahan aku mulai membuka mataku. Berat rasanya, karena sebenarnya aku masih dilanda rasa kantuk yang luar biasa. Kudapati sahabatku membawakan secangkir teh manis hangat beraroma melati. Ternyata ini sumber dari segala sumber wangi yang menggodaku dari tidur singkat di sebuah bangku empuk yang terletak di sudut area stasiun Balapan ini. Sahabatku yang satu ini memang paling bisa ku andalkan. Kiki namanya. Dia adalah gadis yang sebaya denganku. Tapi ketika kita berjalan bersama, pasti orang-orang akan mengira kalau dia adalah kakakku. Mungkin karena faktor tinggi badannya yang selisih tigapuluh centimeter lebih tinggi dariku. Pagi ini aku akan memulai liburan dadakanku di kota kenangan ini, Surakarta. Entah sudah berapa lama aku tidak menginjakkan kakiku di tanah yang kental akan kebudayaannya ini.

“Molor mulu lu Yun!” Ucap Kiki, sembari menawarkan secangkir teh hangat yang menggugah selera.
“Masih pagi banget kali Ki, nih masih jam enam. Nanti kita jadi ke Mangkunegaraan kan?”
“Yaudah.. liat nanti aja ye. Muka lu aja masih teler gitu. Sana gih cuci muka dulu lah.”
“Yaudin, nyantai. Woles aja, pokoknya gue gak mau cuci muka dulu sebelum nyarap. Hahaha”
“Dih? Jorok banget nih orang. Dimana-mana mah orang cuci muka dulu baru sarapan. Elu mah sarap yun.”
“Iya.. iya.. tapi anterin gue dulu yuk ke kamar mandi. Gue takut nyasar kalau gak ditemenin.”
“Lah lu kayak bocah aje. Emang sebelumnya lu pernah nyasar?”
“Per…..nah sih.”
“Gimana ceritanya lu bisa nyasar?”
“Ceritanya? Kasih tau gak ya?”
Kiki hanya mengernyitkan dahinya.

******************************

Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, 2005
“Mama.. mau kemana? Aku ikut dong.”
“Gak usah, orang mama juga cuma sebentar aja kebawah. Mau beli roti dulu, abis itu mama kesini lagi kok.”
“Aaah.. aku ikut.. ikut.”
“Kamu disini aja.. tuh ada Papa, Mbak, dan adek-adek kamu.. main dulu aja disini.”

Ternyata bocah itu sangat keras kepala. Ia tetap berkukuh untuk ikut dengan ibunya ke lantai dasar stasiun Gambir. Ketika musim liburan tiba, memang hal yang sangat lumrah jika stasiun ini sangat ramai dari biasanya. Volume penumpang kereta biasa meningkat sekitar empatpuluh hingga enampuluh persen. Bukannya sang ibu tak ingin mengajak anaknya untuk ikut bersamanya. Tapi, sejak tadi sudah berulang kali pengumuman anak hilang dilayangkan pusat informasi. Ibu mana yang tak akan kualahan jika menghadapi tingkah anaknya yang begitu pecicilannya ditengah-tengah kerumunan seperti ini. Biasanya anak kecil memang mudah sekali bosan. Selalu ingin tahu, walau terkadang sok tahu. Belum lagi bocah yang memakai kalung warna-warni ini tingkah lakunya sungguh tak terduga. Persis seperti kutu, meloncat dari satu tempat ke tempat lainnya, bahkan terkadang perpindahannya nyaris tak terlihat.

Beberapa menit setelah bocah itu menunggu ibunya membeli roti
“Ma.. masih lama ya? Aku keatas duluan deh.”
“Tuh kan.. mama bilang apa tadi? Mending kamu nunggu diatas aja sama Mbak kamu.. haduuh.”
“Yaudah aku keatas duluan deh.”
“Kamu masih inget gak  escalator yang kita turunin tadi? Udah, nanti aja deh keatasnya bareng mama.”
“Iyaaa.. aku inget. Tinggal lurus kan? Dadah mama.” Dengan cepat bocah itu berlari dengan gesitnya tanpa mendengar teriakan ibunya yang sebenarnya khawatir jika dirinya tersesat.”

Ketika ibu membawa beberapa bungkusan belanjaan, semua anggota keluarga sejenak terdiam, saling memandang dan bertanya;
“Lah Ma? Yunis mana?”
“Loh.. kan tadi dia keatas duluan. Yunis dimana Pa?”
“Kok malah Tanya Papa? Tadi kan dia ikut kebawah sama kamu? Jangan-jangan tuh anak salah naik escalator.”
Seketika, keramaian serta segala bising itu tertahan oleh satu pusat suara.
“TENGNONGNENGNONG.. Selamat malam seluruh pengunjung stasiun Gambir, bagi orangtua yang merasa kehilangan anaknya yang bernama Yunis, dengan ciri-ciri, memakai kaos putih, dengan celana pink dan kalung warna-warni, beralamat di Bekasi Timur, mohon segera ke pusat informasi. Terimakasih. TENGNONGNENGNONG.”
“Arrrghhhh.. YUNISSSSS!” Teriak semua anggota keluarga yang geram akan tingkah bocah satu itu.
*****************************

“Hahahahahahha.. malu.. malu.. gue kalau jadi lu, pindah planet gue mah kalo jadi lu Yun.. hahahahah.”
Kiki hanya terbahak-bahak mendengar kisahku yang cukup memalukan itu.
“Isshh.. rese banget lu. Tahu gitu gak gue certain tadi.. nyesel gue.. nyesel.”
“Lah lagian elu ade-ade aje. Makanya jangan sotoy lu jadi orang. Hahahah.”
“Udah ah.. lupain. Ayoo.. anterin gue ke kamar kecil dih.”
“Iye.. ayo..ayo. eh Yun, nanti kita nyewa becak dulu yuk dari sini. Gue mau mampir ke pasar Klewer dulu, mau beliin daster batik buat emak gue.”
“Iye buk.. yaudin. Abis ini pokoknya kita sapu-sapuin semua sudut kota Surakarta yak.”
"Serbuuuuuu!!!!"

                                End~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalamnya Makna Lagu ‘Let Me Breathe’ – Harris J

Resensi Buku : Imam Syafi'i (Pejuang Kebenaran)

Musafir dan Si fakir ilmu