Aku, Kamu, dan Syukur





A: "Kalo aku jadi dia sih aku gak mau kerja kek gitu. Kasian banget dia. Apaan. Gajinya kecil. Cuma cukup untuk beli stock gincu tujuh warna selama enam bulan, hiih, gak lepel." 
B: "Aku juga gak mau. Mending kek kerja aja ya di BUMN, yang gajinya bisa gede. Kan cukup tuh ya buat investasi rumah, mobil, apa delman gitu. Padahal si C pinter ya, sayang banget kalo dia gak tertarik kerja di BUMN, tapi emang seleksi masuk di BUMN cukup berat sih sis~"



Disuatu pagi A dan B tengah asik ngerumpiin si C yang baru saja berjalan melewati mereka. C, dengan gaya ciamiknya berjalan sembari melempar senyum ramah dan menyapa mereka, A dan B, yang tak lain dan tak bukan adalah emak-emak rumpita yang hobinya komentar laiknya Facebook. Mereka pun masih menatap C dari belakang yang sedang bergegas berangkat kerja.

Apakah teman-teman pernah menjadi emak-emak rumpita? Maksud saya, pernahkah teman-teman ada di posisi seperti mereka? Yang gemar mengomentari hidup orang lain dan mengklaim bahwa 'kebahagian seseorang adalah seberapa banyak hartanya', atau 'seberapa keren pekerjaannya', atau seberapa ganteng suaminya, seberapa cantik istrinya, atawa 'seberapa banyak koleksi squishy nya'??? ._.

HE- to the LOW- Helow, apakah kamu yakin bahagia itu hanya tentang 'apa yang terlihat dari mata'? Sebenarnya, apasih definisi bahagia? kalau menurut KBBI, bahagia itu adalah:

bahagia/ba·ha·gia/ 1 n keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan): -- dunia akhirat; hidup penuh --; 2 a beruntung; berbahagia: saya betul-betul merasa -- karena dapat berada kembali di tengah-tengah keluarga;

I think you get the point. NAH. Keadaan atau PERASAAN senang dan tenteram. BUKAN, dapet kerjaan keren, penghasilan besar, atau dapet pasangan laiknya artis koreaaah~

Walaupun dimata A dan B, si C tidak terlihat bahagia lantaran penghasilannya yang terbilang kecil. Tapi soal PERASAAN (Cieeeeh) siapa yang tahu? Emangnya A dan B pernah menyelami perasaannya si C? *harapgakusahbaper*
Malah bisa jadi secara batin, C itu lebih bahagia dari A & B karena C adalah manusia yang penuh dengan rasa syukur.

Karena pada hakikatnya bahagia itu adalah apa yang kita rasa, bukan apa yang sekedar terlihat mata. Mari kita tinggalkan dulu kisah C yang sedang dirumpiin sama emak-emak rumpita. 

Meminjam sebentar mesin waktu, saya mau kembali ke lima tahun yang lalu, saat-saat dimana saya sedang memperjuangkan universitas UGM untuk menjadi tempat kuliah saya kala itu. Saya masih ingat betul beberapa jalur yang sudah saya tempuh, mulai dari SNMPTN undangan, hingga SNMPTN tulis, namun apa gerangan, UGM hanya jadi harapan. Harapan tak bersayap~ halaah apansih -_-
(*note: UGM yang dimaksud adalah Universitas Gajah Mada, bukan Universitas Gagal Move on)

Setelah menerima kenyataan bahwa kampus yang di damba tidak menjadi realita, saya pun berusaha untuk move on. Waktu move on nya pun cukup lama, hampir setahun lebih. Padahal kala itu saya sudah berkuliah di Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA yang berada di Jakarta. Di tahun pertama saya kuliah, saya masih saja dibayang-bayangi kota Jogja, karena di kota itulah UGM berada. Rutinitas saya di kota Jakarta ditahun pertama ternyata membuat saya tidak bahagia, kenapa? Karena saya tidak bersyukur
Saya terlalu banyak berekspektasi. Saya berpikir, kalau saja saya kuliah di UGM, orangtua saya pasti bangga, pasti enak tinggal di kota Jogja, pasti rame, pasti seru, pasti ini, pasti itu. Pokoknya saya sotoy abis, padahal saya pun belum pernah tinggal di Jogja. Saya terlalu mendefinisikan bahwa bahagia itu adalah ketika apa yang saya mau bisa selalu saya dapatkan. Bahkan saat itu saya sangat tidak sopan kepadaNya, yang Maha Penyantun lagi Maha Mengetahui segala yang terbaik untuk hambaNya. Saya pernah merasa kesal dengan skenarioNya. Kenapa harus Jakarta? Jakarta kan macet, padet, aduh pokoknya pusing deh pala incess kalau kudu mondar-mandir di kota iniih.

Namun setelah tahun kedua berjalan, saya mulai menerima segala kenyataan yang ada. Segala sesuatu yang tadinya enggan saya syukuri justru berubah menjadi sesuatu yang membawa hikmah besar dalam hidup saya, dan itu semua berubah karena Dia sungguh Maha Pemurah. Justru di kota Jakarta inilah saya dipertemukan dengan orang-orang yang membuat saya banyak belajar arti hidup *cieelah dah lebay*. Eh tapi ini serius! Saya jadi sering menarik benang-benang yang telah terulur beberapa tahun silam. Saya jadi sering berpikir, kalau saja lima tahun lalu saya tidak singgah di Jakarta, maka banyak sekali episode seru yang saya lewatkan, banyak sekali perjumpaan berarti yang tidak terjadi, dan yang jelas, skenario terbaikNya justru tak akan pernah terjadi jika saya tidak singgah di ibu kota ini.

Dan sekali lagi, ketidak bahagiaan saya kala itu hanyalah karena kekeliruan saya dalam memaknai hakikat 'bahagia'. Mungkin dulu saya termasuk golongan si A & B yang bisanya ngejudge kebahagiaan seseorang dari apa yang ia dapatkan. Padahal, jelas bahagia itu ada jika kita bersyukur, dan itu bukan omong kosong. Bahagia adalah tentang rasa yang membuat tenteram, bukan sesuatu yang membuat hati menjadi gerasak-gerusuk karena memaksakan diri demi mendapatkan sesuatu.

Bahagia itu ketika aku, kamu, bersyukur.
























Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalamnya Makna Lagu ‘Let Me Breathe’ – Harris J

Resensi Buku : Imam Syafi'i (Pejuang Kebenaran)

Musafir dan Si fakir ilmu